Gadis di Ruang Tunggu



Teks Drama
Jam setengah empat sore, lima pasien yang menunggu di ruang tunggu sebuah rumah sakit, kelimanya harus ekstra sabar karena dokter yang mereka datangi membutuhkan waktu cukup lama untuk menganalisis dan memberi obat kepada satu pasien. Di satu sisi, Hanah hanya bisa tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak lama kemudian Jaka datang dengan tergesa-gesa dan marah-marah kepada suster, karena ia telah mendaftar lewat telepon. Namun, antrian ternyata tidak berlaku untuk line telepon, jadi dengan terpaksa ia harus menunggu empat pasien terlebih dahulu.


Pemuda : (batuk-batuk, kaki kanan di tumpukan pada kaki sebelah kiri, tangannya memainkan kartu tunggu).
Oma : “ Berapa lama lagi ? Lama-lama bukan perut oma aja yang sakit tapi semua badan oma ikut sakit”.
Hanah : “ Kamu sakit apa ?”
Jaka : “Sakit kepala.” (jawabnya dengan ketus).
Hanah : “Sakit kepala Kenapa ?”
Jaka : “ Mana saya tau, kalau saya tau, ngapain saya kesini.”(jawabnya ketus kembali)

Pemuda : ( batuk-batuk.)
Oma : “Ya ampun lama sekali.”
Jaka : “ Ahhh !!! Ini nenek berisik amat !” (Jaka mengeluh  )
Oma : “ Heh apa kamu bilang !? Saya berisik ?”
Sejenak saya melihat wajah nenek itu yang menyeramkan.
Pemuda : (batuk-batuk)
Oma : “Kamu juga !! Batuk lagi .”
            Sejenak, saya melihat  wajah si pemuda terlihat dipenuhi dengan lendir yang sangat jijik. Sementara Hanah, hanya bisa tertawa  geli.
Jaka : “Kenapa kamu ketawa ?!”
Hanah : “ Maaf .”(memasang wajah menyesal).


Salah satu pasien keluar dari ruang tunggu.Oma segera memasuki ruang periksa.
Jaka : “ Sus, bisakan saya masuk lebih dulu? Saya kan memesan nomor antrian lewat line telepon ! Lagi pula saya cuman mau minta resep dari dokter aja, terus ngambil obat yang biasa.”
Suster : “ Obat yang biasa kan pak ?”
Jaka : “Iya.”
Suster : “Kan biasanya juga bisa pake copy resep pak.”
Jaka :  “ Iya. Tapi saya maunya dosisnya dinaikin. Kepala saya tuh mau pecah !!!”
Tiba-tiba imajinasi saya pun bermain. Suster terlihat memarahi saya, sayapun disuruh suster untuk duduk kembali.
Suster : “Pak Jaka ! Pak Jaka bisa sabar gak !?  Saya bilang duduk!!! Duduk!!!”
Jaka : “Ahh !!!”
Sambilpun kembali duduk ketempat semula. Namun Hanah hanya bisa tertawa geli.
Hanah : “Kamu tuh mirip kaya nenek yang tadi ya .”
Jaka: “ Ahh sial !!”
Hanah : “Harusnya kamu tuh seneng, kan tadi nenek yang tadi udah masuk
Jaka : “Heh yang sakit kepala itu saya, bukan kamu ! Kepala saya bener-bener mau pecah !”
Hanah : “Jangan dong, kan sayang nanti lantai nya kotor kena peacahan otak kamu ."
Saya gemas dan sangat emosi ketika Hanah berbicara seperti itu, tapi Hanah hanya bisa meladeni pembicaraan saya yang penuh amarah dengan santai.
Jaka : “ Sial !!”
Hanah : “ Seneng banget yah ngomong sial.”
Jaka : “Karena dunia ini memang sial ! 3 bulan siapin pitching kalah tender semua. Client pada kabur semua. Kemarin mobil tabrak pagar. Internet mati. Terus kalo gue ga masuk kerja dan gue telat meeting sekarang, gue bakal kalah tender lagi !!”
Hanah : “ Istri kamu ada ?”
Jaka : “Istri saya lebih aneh lagi. Udah sebulan meditasi apalah di Bali. Udah kaya paling banyak masalahnya !”
Hanah : “ Padahal masalah yang paling banyak di dunia ini kamu ya ?”
Jaka : “ Ya iyalah.”
Hanah : “ Bukannya setiap orang punya masalah yah ?”
Jaka : “ Ya iya, tapi ga sebanyak masalah saya tau ga !?”
Suasana diruang tunggu yang dipenuhi oleh obrolan Hanah dan sayapun tiba-tiba hening seketika seperti di dalam kuburan setelah saya melemparkan sesuatu. Untuk meredam kemarahan saya, Hanah menawarkan untuk bergantian nomor dengan saya.
Hanah : “ Saya nomor 12, kamu pakai nomor saya saja.”
Jaka : “Maksudnya ?”
Hanah : “ Kamu pakai nomor saya, saya pakai nomor kamu.”
Jaka : “ Serius?”
Hanah : “ Serius.”
Jaka : “ Kamu betah nunggu disini ?”
Hanah : “ Saya nikmatin. Lagi pula sore seperti ini pasti sinar matahari di tembok itu bagus, seperti lukisan. Saya suka melihatnya.”
            Setelah bergantian nomor tunggu, suster memanggil Hanah untuk masuk kedalam ruang periksa. Karena telah bergantian nomor, otomatis saya langsung menjelaskan kepada sang suster.
Suster : “ Nona  Hanah .”
Jaka : “ Saya sudah tukar kartu dengan dia, saya duluan.”
Suster : “ Oh seperti itu.”
Jaka : “Iya.”
Suster : “ Mari pak .”
Jaka : “ Suster, perihal penyakitnya dia apa ?”
Suster : “ Aduh, maaf  Pak Jak, saya engga bisa memberitahukan perihal penyakit orang lain.”
Jaka : “Aduh sus, paling penyakit dia juga engga parah kan ? Dari tadi sehat-sehat saja.”
Suster : “ 5 tahun yang lalu, ada virus yang meyerang inderanya satu persatu. Mulai dari lidahnya yang engga bisa merasakan apa-apa. Terus 3 tahun berikutnya mata kirinya engga bisa melihat. Disusul 1 tahun kemudian mata kanannya engga bisa melihat juga. Mungkin dalam bebrapa bulan kedepan, indera pendengarannya akan hilang.
Mari pa?”
Jaka : “mari ,iya.”
jaka mendekati hanah. Hanah bertanya mengenai pembatalan Jaka untuk masuk ke ruang dokter.
Hanah :” Kamu gak jadi masuk kedalam ?”
Jaka :” Saya sudah merasa lebih baik. Yu,saya bantu kamu masuk kedalam.”(Jaka menuntun hanah ke ruang Dokter)
TAMAT


Cerpen _ GADIS DI RUANG TUNGGU
Aku mengeluh sakit kepala lagi. Sudah hampir satu minggu ini kepalaku pusing, mual dan terasa oleng. Kadang rasa pusing itu tak tertahankan disertai dengan muntah, jika muntah keluarlah semua isi perutku. Bahkan di tempat kerja pun pening dan oleng ini menghinggapi kepalaku. Ketika duduk tubuhku rasanya berputar – putar, dunia ini terasa terbalik, begitu pun pada saat berdiri.   

Karena sudah tak tertahankan, tepatnya jam setengah empat sore  kuputuskan  berobat ke rumah sakit untuk mengecek kesehatanku. Aku menelpon suster untuk mendapatkan nomor antrian terdekat supaya dapat cepat balik ke kantor untuk mengikuti meeting dengan client besar. Sejujurnya aku paling malas jika harus ke rumah sakit, menunggu lama untuk bertemu dengan dokter  dan tentu saja yang terakhir  minum obat, ujung – ujungnya.  

Sesampainya di ruang tunggu, aku mengambil nomor. Tetapi sayang, nomor antrian yang kudapat sangat jauh dari keinginan . Aku memohon sambil marah untuk dapat nomor antrian yang dekat dengan alasan karena saya telah memesan nomor antrian lewat telpon. Tetapi suster menyuruh saya menunggu terlebih dahulu. Suasana keramaian di ruang tunggu membuatku tak tahan dengan panas dan kicauan pasien yang sedang menunggu. Seorang nenek berkicau bagaikan burung , seorang pemuda batuk bagaikan gemuruh geledeg yang menyambar-nyambar dan ketika dilihat mukanya bagaikan anak kecil yang penuh dengan lendir. Semakin lama sakit kepalaku ini tak tertahankan, oleng dan berputar – putar. Kepalaku berdenyut – denyut. 

Tiba-tiba suara seseorang bertanya menambah kekacauan di dalam otakku. Diapun yang baru bertanya malah terkena api dari kepala saya. Namun dia terus bertanya sayapun hanya bisa menjawab dengan nada yang kesal dan marah. Dengan ketenangan nya, dia membantingkan pertanyaan dan jawabanya dengan enteng dan membuatku tambah kesal, karena dia seperti orang yang meremehkan penyakit saya.

Nenek itu masuk ruang periksa. Saya pun memohon kembali kepada suster untuk dapat segera masuk ruang periksa. Kepalaku tak tahan ketika berdiri, seketika wajah suster berubah seperti harimau. Akupun mematung terdiam, kemudian akupun kembali duduk di kursi tunggu. Perempuan itu kembali mengomentari sikap saya. Sayapun sangat marah dan kesal sambil membantingkan sesuatu dari dalam saku.

Tak disangka, dia memberikan nomor antriannya kepada saya supaya saya bisa masuk lebih cepat. Dengan muka yang tercengan , saya sangat senang. Kemudian saya ambil nomor antriannya. Tak lama, nomor antrian milik perempuan itu di panggil. Saya pun langsung pergi menemui suster dan menjelaskan bahwa saya telah menukar nomor dengan perempuan itu.
Saya pun diantar oleh suster untuk menuju ruang periksa. Sebelum diperiksa, saya menanyakan sesuatu kepada suster tentang riwayat penyakit perempuan itu. Namun sang suster enggan untuk memberikan info. Tetapi saya menyatakan bahwa perempuan itu baik-baik saja,  diapun menceritakan riwayat penyakit perempuan itu. Saya pun merasa sedih .

Ketika selesai di periksa, saya mengantar perempuan itu memasuki ruang periksa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teks Ulasan Film Dibalik 98

Kebijakan Penggunaan Jaringan

Tugas Anekdot